Senin, Juli 12, 2010

Ketika Papie Sakit

Beberapa waktu yang lalu papi terjatuh dan mengalami retak pada tulang punggungnya. Di usianya yang menginjak 74 tahun, perkara jatuh tentunya akan berkepanjangan akibatnya. Kami segera membawa papie ke rumah sakit terdekat. Setelah melakukan rontgen dan berkonsultasi, dokter ortopedi yang memeriksa mengatakan bahwa papie tidak apa-apa, dan dengan seiringnya waktu akan sembuh dengan sendirinya. Penjelasan ini sempat membuat kami bernafas lega untuk sementara. Namun setelah beberapa hari kondisi papie tidak membaik, bahkan terlihat sangat kesakitan saat membalikkan badan dalam posisi tidur, kami kembali membawa papie ke dokter, kali ini ke dokter yang sudah terbiasa menangani papie bertahun-tahun semenjak papi pernah terkena stroke sekitar 11 tahun silam. Sekali melihat hasil rontgen yang sebelumnya, dokter langsung berkata bahwa papi mengalami retak pada tulang punggungnya, dan segera melakukan pemeriksaan ct scan untuk lebih mengetahui detailnya. Terpikir, betapa sembrononya dokter ortopedi yang pertama kali memeriksa papi, bagaimana mungkin seorang dokter spesialis bisa melewatkan hal ini?

Sebenarnya papie diharuskan untuk rawat inap, tetapi setelah pihak rumah sakit tidak berhasil melawan sifat keras kepalanya, akhirnya papie diperbolehkan pulang dan cukup dirawat di rumah, dengan catatan apabila dalam empat hari kondisi papie tidak kunjung membaik, maka papie harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

Dimulailah hari-hari penuh kesibukan merawat papie di rumah. Tentu saja yang paling direpotkan adalah mamie, karena sedikit saja mamie meninggalkan papie sendiri, maka hp mamie akan segera berdering, menandakan papie memanggil. Terkadang aku tersenyum melihat tingkah laku papie yang menjadi sangat manja. Tugas menemani papie di kamarnya aku ambil alih saat aku pulang kerja. Pada saat itulah mamie bisa bernafas sedikit lega, karena mamie bisa punya waktu 'lebih' banyak untuk mengerjakan tugas-tugas rumah lainnya, biarpun tetap saja papie akan segera mencari mamie kalau ditinggalkan terlalu lama, tapi setidaknya dengan adanya aku di sebelahnya, papie bisa lebih 'membiarkan' mamie melakukan kesibukannya. Biasanya aku baru beranjak meninggalkan papie di kamarnya saat mendekati jam tidurnya, karena saat itu mamie juga sudah selesai dengan pekerjan-pekerjaan rumahnya dan bisa kembali menemani papie.

Syukurlah kondisi papie semakin membaik, biarpun papie tetap belum diperbolehkan untuk bangun. Setidaknya akan diperlukan waktu sebulan sampai papie benar-benar diperbolehkan untuk bangun.

Terkadang melihat papie yang tertidur, pikiranku sempat melayang ke masa lalu, dimana kami semua anak-anaknya masih kecil, sementara papie masih muda dan gagah, dan selalu menjadi orang serba bisa bagi keluarganya. Tentunya menjadi lemah dan tak berdaya seperti sekarang juga menjadi beban batin baginya.

Aku tidak akan berkata muluk-muluk bahwa aku adalah anak yang baik dan berhati mulia. Aku sadar aku pun sering larut dalam kesibukanku sendiri. Padahal yang dibutuhkan papie hanyalah seorang teman. Dengan duduk di sebelahnya, bercerita tentang hal-hal apa saja, atau mengomentari acara-acara tv yang kami tonton bersama, papie sudah terlihat sangat senang.

Kebanyakan kita (termasuk juga aku), anak-anak muda yang beranjak dewasa, kita terlalu tenggelam dalam kesibukan kita sehingga sering melupakan pentingnya perhatian bagi orang tua kita yang menginjak usia senja. Aku ingat, pernah suatu saat temanku mengeluh, dengan terus mengurus mamanya yang sudah tua, dia seperti mempunyai bayi yang sangat rewel. Mungkin dia lupa, bahwa dia pun pernah menjadi seorang bayi bagi mamanya. Pernah menjadi anak kecil yang sangat nakal, dan begitu sangat menyita perhatian di sela-sela kelelahan orang tua ketika mencari nafkah. Satu hal yang perlu untuk kita ingat, suatu saat pun kita akan sampai pada usia mereka...

Tidak ada komentar: