Jumat, Maret 26, 2010

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu...


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada...

~Sapardi Djoko Damono~

Kamis, Maret 25, 2010

Ketika Aku Kanak-Kanak

Akhir-akhir ini, salah satu keponakan perempuanku terus memaksaku untuk menginstal game online Ayo Dance di pcku. Berkali-kali kutolak, berkali-kali pula ia mendesak. Beberapa hari sebelumnya, ia membuatku terheran-heran, saat main ke rumah dan kuperbolehkan memakai pc, dengan lancarnya ia browsing ke sana kemari, membuka banyak sekali game-game dari website tertentu, entah siapa yang mengajarinya. Yang jelas ia terlihat betah sekali, biarpun kutinggalkan sendirian di kamarku cukup lama. Umurnya baru 10 tahun, tapi ia sudah tahu terlalu banyak, ataukah cara pikirku yang ketinggalan jaman? Terkadang di jam-jam kerjaku, dia mengirim sms yang isinya hanya pesan singkat “online ym yuk..”

Aku jadi teringat masa kecilku, masa kecil yang sangat jauh dari dunia maya. Aku ingat punya sepasang boneka, boneka sederhana yang bahannya dari plastik, yang satu warnanya merah muda dan yang satu warnanya putih cream. Kemana-kemana dua boneka ini selalu kubawa, dari bermain di halaman, manjat pohon, mandi, sampai pergi tidur. Sering keduanya kuajak berbicara, seolah-olah mereka hidup. Setiap malam, aku sering pura-pura tidur dan berharap boneka-bonekaku akan hidup setelah lewat jam 12 malam. Hahaha, aku terlalu terpengaruh dengan salah satu cerita dongeng favoritku, karya HC Andersen.

Ada lagi sebuah boneka kelinci yang bentuknya bulat, bajunya berwarna merah, bagian bawahnya terdapat sepasang roda kecil, dan pada bagian depannya terdapat tali yang bagian ujungnya diberi pegangan berwarna kuning. Apabila tali ini ditarik, maka boneka akan mengikuti kita, kepalanya akan menengok ke kiri dan ke kanan, dan mengeluarkan bunyi, net not net not net not. Dan aku sering membawanya berkeliling seluruh penjuru rumah, sampai ke halaman rumah, berbuat seolah-olah aku sedang berjalan-jalan ke suatu tempat, dan kelinci net not terus menemani di belakangku. Aku masih ingat, umurku saat itu juga kurang lebih 10 tahun…

Bosan bermain sendiri, biasanya salah satu kakakku juga sering menemaniku bermain, yang paling sering adalah kakak ketigaku, yang umurnya hanya beda 4 tahun dariku. Dia sering sekali mengajariku berbagai macam permainan. Kadang kami bermain kertas wayang, masing-masing mengeluarkan satu kertas wayang jagoannya. Kemudian kertas wayang ini dilempar ke udara, pemilik kertas wayang yang terjatuh dengan gambar tetap menghadap ke atas akan menjadi pemenangnya, dan yang kalah harus membayar dengan kertas wayang miliknya. Permainan yang sangat sederhana ya? Tapi kami bisa betah berjam-jam memainkannya.

Dia juga mengajariku bermain layangan. Biasanya aku membantu menaikkan layang-layang dengan cara memegangnya dari kejauhan kemudian melepaskannya, dan kakakku sambil berlari kecil berusaha menaikkan layangannya. Sesekali dia akan memperbolehkanku memegang tali layangan saat layangan sedang asyik menari-nari di langit, sambil berpesan “Perhatikan layangannya ya, kalau mulai terbang menurun, atau ada layangan lain mendekat, segera kasi tahu” Aku masih ingat, pernah sekali dia mengomel karena aku terlambat bilang kalau ada layangan lain mendekat, sehingga layangan kami pun putus.

Kalau ada teman-temanku datang ke rumah, ataupun teman-teman kakakku, biasanya kami suka bermain kejar-kejaran atau dulu sering kusebut main uberan. Uberan dari kata uber, karena memang bermainnya terus diuber-uber / dikejar-kejar. Dimulai dengan hompimpah, sampai tersisa dua orang yang harus suit, dan yang kalah harus mengejar teman-temannya yang lain. Gara-gara permainan ini, aku sampai bersikeras ke kakakku, minta diajari memanjat pohon, karena kalau bermain dengan teman-teman kakakku, aku selalu termasuk yang paling kecil, dan terkadang mereka semua menggodaku saat aku yang harus mengejar mereka. Biasanya mereka suka memanjat pohon, sehingga aku hanya bisa berteriak-teriak dari bawah karena tidak bisa menangkap mereka.

Ada lagi satu permainan lucu, mungkin ini permainan ciptaan kakakku dan teman-temannya sendiri. Permainan ini biasanya aku mainkan dengan teman-teman kakakku yang pertama. Kakakku yang pertama beda 11 tahun denganku, jadi saat aku kelas 1 SD, kakakku sudah SMA kelas 3. Permainannya kami sebut permainan patung, ada patung lurus, patung bengkok, patung joget, dll. Saat berjumpa, salah satu akan dulu-duluan berteriak “Patung Lurus!!!!” dan yang kalah cepat harus jalan lurus terus sampai menabrak pembatas atau dinding. Sebaliknya kalau perjanjian sebelumnya bermain patung bengkok, maka yang diteriakkan adalah “Patung Bengkok!!!” dan yang kalah harus jalan sambil belok kanan kiri sampai menabrak sesuatu. Aku ingat ada salah satu teman kakakku yang mainnya hanya mau patung joget. Alhasil yang kalah harus berputar berjoget-joget.

Semua permainan masa kecilku memang sederhana. Tapi aku mempunyai banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan, dan banyak dilatih hidup bersosialisasi sewajarnya dengan kepolosan masa kanak-kanak. Bila dibandingkan anak-anak sekarang, mayoritas asyik dengan dunianya sendiri, mereka lebih banyak berteman dalam dunia maya, sehingga sosialisasi hidup sehari-harinyanya menjadi kurang. Kalau dulu kita belajar seiring dengan pola pikir seorang anak kecil, banyak anak-anak sekarang yang menurutku sudah lebih dewasa dari yang seharusnya. Atau lagi-lagi aku yang ketinggalan jaman? Entahlah, tapi yang jelas, aku merasa sangat beruntung menjadi anak kecil pada masaku dahulu…

Senin, Maret 22, 2010

Arti Seorang Sahabat

Hanya butuh waktu yang amat singkat untuk membenci dan menyakiti seseorang, dan kemudian menjadikannya sebagai seorang musuh, tapi akan butuh seumur hidup untuk menemukan seorang sahabat. Kalimat ini pernah aku baca pada salah satu artikel tentang persahabatan, dan setelah kupikir lagi, kalimat ini memang tidak berlebihan. Seberapa banyakkah di antara kalian yang mempunyai seorang sahabat yang benar-benar “sahabat” ? Aku berani menjawab sambil tersenyum, aku punya, biarpun jumlahnya tidak banyak. Aku mempunyai banyak sekali teman, tapi hanya beberapa yang bisa aku sebut sebagai sahabat.

Banyak yang bisa menjadi sahabat kita, orang tua pun sebenarnya merupakan sahabat kita, kakak atau adik pun bisa menjadi sahabat kita. Juga kekasih ataupun istri/suami pun sebenarnya adalah sahabat kita. Tapi yang aku maksud sahabat di sini adalah seseorang yang murni dia hanyalah teman kita, tidak mempunyai tali kekeluargaan dengan kita, ataupun bukan bagian dari keluarga kita. Tanpa mengecilkan artinya, tentu adalah hal yang sewajarnya apabila kita selalu menjadi sahabat bagi keluarga sendiri, ataupun bagi pasangan hidup, karena mereka adalah bagian dari hidup kita, yang telah mempunyai ikatan batin dengan kita.

Tapi bagaimana dengan orang yang sebenarnya asing, dalam arti sama sekali tidak punya ikatan persaudaraan dengan kita, bahkan mungkin baru kita jumpai setelah dewasa, tapi dia begitu pedulinya dengan kita? Mereka akan ikut bersedih saat kita berduka, mereka akan ikut marah apabila melihat kelakuan kita yang tidak pada tempatnya, mereka tak sungkan berkata pedas mencela kita, tapi mereka juga bisa ikut menangis bersama kita, dan ikut merasakan kebahagiaan saat kita bahagia. Bersama sahabat, kita memang tidak selalu melewati masa-masa keceriaan, ada waktunya kita akan mengalami juga masa-masa yang melelahkan bahkan menjengkelkan. Dan setelah kuingat-ingat, aku juga selalu melewati masa-masa itu dengan sahabat-sahabatku. Karena persahabatan itu adalah suatu proses, dimana kita akan melewati senang sekaligus benci, dihibur juga disakiti, didengar dan diabaikan. Justru dengan adanya proses inilah, kita bisa menemukan seorang sahabat.

Seorang sahabat, tidak akan pernah sungkan untuk mengatakan sesuatu yang menyakitkan, kalau dia pikir itu memang untuk kebaikan kita. Ada saatnya kita akan sangat marah saat itu, merasa tidak dimengerti olehnya. Bahkan terkadang bisa membuat hubungan persahabatan menjadi dingin dan menjauh. Tetapi seorang sahabat, tak akan pernah hilang, suatu saat dia akan kembali, dan kembali menyapa kita dengan hangat, kembali berbagi kebahagiaan dengan kita.

Buat sahabat-sahabatku, terima kasih telah hadir dalam kehidupanku. Mungkin terkadang aku bisa menjadi teman yang sangat sangat menyebalkan, membuat kalian habis kesabaran. Mungkin persahabatan kita tidak selalu berjalan mulus. Mungkin terkadang aku juga sering dibuat kesal dengan kalian. Tapi semakin beranjak dewasa, aku semakin menyadari, sungguh tidak mudah menemukan kalian. Love you, all...